Menjual lauk-pauk murah dan Nasi Dos secara online, pesan antar area Makassar. Hubungi WA 08 969696 0101 atau BBM D42 C42 FD
Lukisan ini penulis temukan di beberapa sudut Kota Makassar. Siapapun yg melukisnya, sudah cukup menggugah nalar dan nurani saya.
Tampak seorang ibu tua, sedang menjulurkan tangannya sebagai isyarat
kepapaan. Di bagian atasnya tertera kalimat tanya pamungkas," KOTA INI
MILIK SIAPA?"
Si pelukis berhasil menggambar problem real fenomena kota yg serba kontras ini dengan penggambaran yg utuh dan dengan kalimat sederhana. Antara kata "kota" dan gambar ibu tua yg papa mencuri perhatian kita secara serius. Ingatan langsung tertuju pada masyarakat kota yg keras. Kota selintas menggambarkan kegemerlapan namun ibu tua yg papa itu menggambarkan fakta kontrasnya. Dua sudut kontras ini saling bersitegang menimbulkan dampak kehidupan kota yg tidak sederhana. Kota sebagai impian keberlimpahan dan ibu tua sebagai kenyataan pahitnya.
Orang kaya yg melimpah tapi orang miskin tetap saja berserakan. Atas nama perut dan kehidupan, kaum miskin kota menggugat orang kaya dengan caranya sendiri. Jika dibaca cermat, gugatan itu dilakukan hanya dengan satu gaya saja, yaitu pemalakan. Ada yg memalak secara langsung, paoga di pertigaan dan perempatan jalan, tukang semir sepatu, parkir liar, perampokan dan pencurian...dan...dan...segala macam modus pemalakan lainnya.....mereka semua adalah anak-anak kota sedang menggugat orang kaya yg bergelimpangan di kotanya. Mereka meminta haknya, mereka sebetulnya meminta keadilan. Lapangan kerja menipis, kesenjangan kehidupan melebar. Orang kaya itu pamer harta, lalu-lalang tanpa rasa berdosa di hadapan orang-orang miskin yg sekarat.
Ibu tua yg digambarkan oleh si pelukis sedang bertanya, sejatinya adalah si pemilik kota yg tak lagi dikenali. Dia adalah "pewaris sah" Kota Makassar yg menjerit kebingungan. Bagaimana mungkin dia yg sebagai penduduk asli bisa terpinggirkan oleh gelombang urbanisasi. Urbanisasi atau apapun namanya menjadi predator yg mengeksekusi mangsanya secara senyap. Sebuah penjajahan model baru, tanpa disadari, begitu dingin. Lalu, wajar jika muncul pertanyaan,"Kota ini milik siapa?" Kalian sebagai tamu di sini, tahu dirilah!
Ah, Makassar ini milik siapa, Indonesia ini milik siapa?
Si pelukis berhasil menggambar problem real fenomena kota yg serba kontras ini dengan penggambaran yg utuh dan dengan kalimat sederhana. Antara kata "kota" dan gambar ibu tua yg papa mencuri perhatian kita secara serius. Ingatan langsung tertuju pada masyarakat kota yg keras. Kota selintas menggambarkan kegemerlapan namun ibu tua yg papa itu menggambarkan fakta kontrasnya. Dua sudut kontras ini saling bersitegang menimbulkan dampak kehidupan kota yg tidak sederhana. Kota sebagai impian keberlimpahan dan ibu tua sebagai kenyataan pahitnya.
Orang kaya yg melimpah tapi orang miskin tetap saja berserakan. Atas nama perut dan kehidupan, kaum miskin kota menggugat orang kaya dengan caranya sendiri. Jika dibaca cermat, gugatan itu dilakukan hanya dengan satu gaya saja, yaitu pemalakan. Ada yg memalak secara langsung, paoga di pertigaan dan perempatan jalan, tukang semir sepatu, parkir liar, perampokan dan pencurian...dan...dan...segala macam modus pemalakan lainnya.....mereka semua adalah anak-anak kota sedang menggugat orang kaya yg bergelimpangan di kotanya. Mereka meminta haknya, mereka sebetulnya meminta keadilan. Lapangan kerja menipis, kesenjangan kehidupan melebar. Orang kaya itu pamer harta, lalu-lalang tanpa rasa berdosa di hadapan orang-orang miskin yg sekarat.
Ibu tua yg digambarkan oleh si pelukis sedang bertanya, sejatinya adalah si pemilik kota yg tak lagi dikenali. Dia adalah "pewaris sah" Kota Makassar yg menjerit kebingungan. Bagaimana mungkin dia yg sebagai penduduk asli bisa terpinggirkan oleh gelombang urbanisasi. Urbanisasi atau apapun namanya menjadi predator yg mengeksekusi mangsanya secara senyap. Sebuah penjajahan model baru, tanpa disadari, begitu dingin. Lalu, wajar jika muncul pertanyaan,"Kota ini milik siapa?" Kalian sebagai tamu di sini, tahu dirilah!
Ah, Makassar ini milik siapa, Indonesia ini milik siapa?