Delivery makanan jadi area Makassar dengan sistem online pesan-antar. Hubungi WA 08 969696 0101 atau BBM D42 C42 FD
Akhlak dalam Islam punya ciri khas sendiri yang membedakannya dengan istilah character yang berasal dari Barat. Belakangan ini kita disuguhkan dengan istilah “Pendidikan Karakter” yang terambil dari pendekatan ala Barat. Pendidikan Karakter ini kemudian diadopsi oleh banyak Institusi Pendidikan yang dipersinggungkan dengan sedikit bumbu Islam sebagai argument bahwa ini sesuai dengan Islam. Walaupun jika kita simak lebih jauh, ada perbedaan yang sangat mendasar antara character dalam terminology Barat dengan ajaran Islam (selanjutnya disebut akhlak) dan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Kita tidak akan membahas perbedaan keduanya secara defenitif, namun lebih pada membedah istilah akhlak dalam Islam dalam hubungannya dengan Ilmu STIFIn. Walau dari sini justru kita akan mengetahui pondasi dasar dari bangunan yang bernama akhlak dalam perspektif Islam.
Dilihat dari sudut etimologi perkataan “akhlak“ dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Arab “Akhlaqun“( أَخْلاَقٌ). Ini adalah bentuk jama’ dari kata “ Khuluqun “ ( خُلُقٌ ).
Yang menarik adalah dari segi persesuaian makna antara kata “Khuluqun“ ( خُلُقٌ ) dan “Khalqun “ ( خَلْقٌ ). Kata yang terakhir ini berarti penciptaan, pun sangat serta erat kaitannya dengan kata “Khaliq“ ( خاَلِقٌ ) yang berarti pencipta dan juga dari sinilah kata “Makhluq“ ( مَخْلُوْقٌ ) muncul yang berarti yang diciptakan.
Dari sini terlihat bahwa akar kata antara “khuluqun” yang berarti akhlak dan “khalqun” yang berarti penciptaan punya koneksi yang kuat. Diketengahkan muasal kata ini untuk menunjukkan bahwa akhlak itu mestilah berkoneksi kuat dengan penciptaan, atau memang sedari awalnya berkoneksi kuat sebagi buah karya Sang Pencipta. Beragam tafsir menyebutkan bahwa kesamaan akar kata ini menggiring kita berpikiran bahwa tidak ada yang tercipta dalam perangai yang buruk sebab ia merupakan titisan langsung dari Sang Pencipta. Jadi bentuk murni akhlak itu adalah "perangai Tuhan" yang secara potensial lebih cenderung pada kebaikan/lebih mudah melakukan kebaikan. Siapapun yang beragama akan menjadi orang yang disebut berakhlak jika meniru perangai Tuhan. Meniru perangai Tuhan dalam bertindak adalah fitrawi sifatnya, maka ia akan menjadi mudah dilakukan.
Jika ditelusur lebih jauh lagi, maka akhlak mestilah muasalnya adalah hasil penciptaan. Penciptaan yang dimaksudkan adalah manusia terlahir membawa genetika akhlak tertentu yang bersifat paten dan tidak akan ternodai oleh lingkungan sampai selanjutnya ia meninggal. Dalam kajian STIFIn, inilah yang disebut dengan istilah “Personaliti Genetika.” Disebut dengan Personaliti Genetika sebab ia adalah hasil penciptaan yang memang begitulah adanya. Adapun lingkungan yang membentuknya adalah tempelan yang tidak bersifat fitrawi. Tempelan yg dimaksudkan adalah berubah-ubah berdasarkan pengaruh lingkungan. Sementara fitrawi itu konstan.
Sementara itu, Personality Genetika dalam kajian ilmu STIFIn pun bersifat konstan. Dari perbedaan Persoanilty Genetika itulah pada akhirnya melahirkan perbedaan dalam bersikap. Tampakan luar dari perbedaan bersikap inilah yang disebut dengan akhlak. Sikap yang baik berarti berakhlak baik dan sikap terpuji berarti berakhlak yang baik. Personality Genetika yang telah menggapai maqam tertentu akan terlihat pada tampak luarnya sebagai orang-orang yang benar-benar berakhlak berdasarkan khasnya masing-masing.
Yang terlahir dengan Personality Genetika Tertentu tidak akan mungkin berubah menjadi Personaliti yang lain. Setiap Personality Genetika memiliki lintasannya masing-masing yang tidak akan mungkin saling berseberangan sekaligus membedakannya secara telak dengan personality lainnya. Personality Genetika adalah penciptaan, bukan rekayasa lingkungan, sebagaimana akhlak juga adalah penciptaan. Maka akhlak, bagi penulis lebih cenderung menyejajarkannya (jika tidak ingin dikatakan sama) dengan Personality Genetika dalam Ilmu STIFIn. Itulah sebabnya, betapapun ketegasan Umar bin Khattab, oleh Rasulullah tidak mendidiknya menjadi Abu Bakar al-Shiddiq. Biarkanlah Umar bin Khattab menjadi Umar bin Khattab seutuhnya, dan biarkanlah Abu Bakar al-Shiddiq menjadi Abu Bakar al-Shiddiq seutuhnya. Kedua perangai yang berbeda itu tetap menjadi teladan sepanjang masa dalam khasnya masing-masing. Keduanya sama-sama berakhlak terpuji pada lintasannya masing-masing.
==========================================================================
Agama dalam bahasa al-Quran bahkan disebut juga dengan istilah Akhlak, karena ia samawiyah tercipta bukan dari produk manusia. Dalam Surat Ash-Shu'ara:137 dijelaskan tentang ini.
إِنْ هَٰذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
“ Dan agama ini tidak lain adalah AKHLAK orang terdahulu.”
Ayat di atas menguatkan, agama itu adalah akhlak. Jika agama itu fitrawi, mestinya akhlak juga adalah fitrawi.
Untuk lebih jelasnya lagi, Imam al-Ghazali mendefinisikan ahklak dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin sbb:
الخُلُق عبارة عن هيئة في النفس راسخة، عنها تَصدُر الأفعال بسهولة ويُسرٍ من غير حاجة إلى فِكْر ورويَّة
“Suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya.”
Kita menggaris bawahi kalimat “mudah dan ringan tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.” Artinya bahwa, akhlak itu mestilah merupakan bagian dari diri dimana ketika melakukannya dilakukan secara "bawah sadar". Seseorang yang otak dominannya berada di sisi kiri bawah (sensing) secara bawah sadar/tanpa perencanaan akan senang melakukan hal-hal yang bersifat sosial. Atau karakter tegas dari mereka yang otak dominannya berada di kiri atas (Thinking). Atau sifat penyayang dan berempati dari Feeling yang tanpa perlu harus direncanakan sebelumnya. Ketika dilakukan pun akan terasa ringan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa “akhlak“ (أَخْلاَقٌ ) adalah sifat ( potensi ) yang dibawa setiap manusia sejak lahir. Dengan begini seorang pendidik lebih mudah memetakan jalan baik untuk perbaikan akhlak peserta didik tanpa perlu memberi tekanan berlebihan untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang dituntunkan. Setiap orang punya jalan surga terdekatnya masing-masing. Jika dilakukan berdasarkan penciptaannya, dalam menangani persoalan akan lebih mudah.
كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Setiap orang akan dimudahkan berdasarkan penciptaannya.”(HR. Bukhari)
Biarkan kambing mengembik, jangan paksa kucing mengaum. Biarkan setiap anak dalam karakternya berdasarkan personality genetikanya masing-masing tanpa perlu memaksa jadi orang lain. Sebab seperti itulah memang ia dilahirkan. Yes, sesimpel itu...
Delivery order makanan jadi area Makassar dengan sistem online pesan-antar. Hubungi WA 08 969696 0101 atau BBM D42 C42 FD