اَكْمَلُ
اْلمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا وَ اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Orang
mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi
pekertinya. (HR. Tirmidzi)
a.
Orang Yang terbaik adalah yang
terbaik akhlaknya
Menjadi baik bukan hanya
ketika dari mulut ini muncul pengakuan akan iman. Orang munafik dahulu, mereka
pun mengakui bahwa dirinya beriman, tapi sesungguhnya mereka belum beriman.
Kesibukan akan penilaian baiknya terhadap dirinya sendiri menjadi mereka
pendusta. Dari sinilah benih perusakan muncul, sebab sifat tak acuh dengan
sekitarnya menjadikan hatinya tertutup rapat dari kebenaran dan kian hilang
kepekaan.
Ini digambarkan oleh Allah
dalam al-Quran sbb:
“Di antara manusia ada yang
mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada
hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
Dan
bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan."(al-Baqarah: 22-24)
Pengakukan ini pula pernah
dilontarkan oleh orang Arab badui dan akhirnya pengakuannya ditolak oleh Allah
swt
قالت
الأعراب آمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولما يدخل الإيمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لا
يلتكم من أعمالكم شيئا
إن الله غفور رحيم
“Orang-orang
Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah:
"Kamu belum beriman, tapi katakanlah
'kami telah tunduk ', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu ta 'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Al-Hujuraat:14)
Maka menjadi baik artinya
menjadi baik akhlaknya. Pada saat yang sama, jiwa akan melebar menaungi
orang-orang di sekitarnya. Sikap peduli dengan orang lain berarti kepekaan jiwa
sudah tumbuh. Tunas-tunas iman mengakar jauh menghujam ke bumi. Dan Rasulullah
diutus karena penyempurnaan akhlak ini, oleh karena itu Rasulullah digelari
sebagai manusia terbaik:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ،
قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَجْلانَ ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : " إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاقِ "
“Ismail bin Abu Uwais
menceritakan pada kami: Abdul Aziz bin Muhammad menceritakan padaku; dari
Muhammad bin Ajlan, dari Al-Fa'qa bin Hakim, dari Abu Shalih As-Saman, Dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda. "Sesungguhnya
saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik." (Adabul Mufrad
Hadits 273)”[1]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ ، قَالَ :
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنْ مَسْرُوقٍ ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، قَالَ : " لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلا مُتَفَحِّشًا، وَكَانَ يَقُولُ :
خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاقًا "
“Muhammad bin Katsir
menceritakan pada kami: Sufyan menceritakan pada kami: dari Al-Amasy, dari Abu
Wa'il, dari Masruq, Dari Abdullah ibnu Amru berkata, "Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bukanlah orang yang keji dan bukan pula orang yang
memerintahkan perbuatan keji, dan beliau pernah bersabda, 'Sebaik-baiknya
diantara kamu adalah yang terbaik akhlaknya."' (Adabul Mufrad Hadits
271)[2]
b.
Tidaklah Seseorang dikatakan
beriman jika ia merasa kenyang sedangkan Tetangganya lapar
Apa jaminan iman kita yang
menjadi barometer yang bisa terlihat. Yaitu kerja social. Orang-orang yang
menjadi pemeluk Islam disebabkan karena pesona akhlak yang dipancarkan jauh
lebih baik daripada mereka dibuat memeluk Islam karena kekuasaan, perkawinan
atau sejenisnya. Nabi saw disegani sekaligus menjadi orang kepercayaan jauh
sebelum beliau menjadi pemimpin Madinah. Sebelum itu, sosok beliau menjadi perbincangan
luas atas pesona budi yang beliau punya. bahkan diakui secara jujur oleh
musuh-musuhnya Islam. Kalaulah bukan karena hidayah memang adalah milik Allah,
maka cukup dengan pesona budi luhur beliau yang terpancar sudah cukup menerangi
Makkah tanpa menunggu Fathul Makkah 23 tahun.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ ، قَالَ :
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي بَشِيرٍ ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الْمُسَاوِرِ ، قَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ ، يُخْبِرُ ابْنَ
الزُّبَيْرِ، يَقُولُ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ : " لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ "
“Muhammad bin Katsir
menceritakan pada kami, Sufyan mengabarkan pada kami, dari malik bin Abu
Basyir, Dari Abdullah ibnu Al Musawir, dia berkata, "Aku mendengar Ibnu
Abbas memberitahukan Ibnu Az-Zubair sambil berkata, 'Aku mendengar Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak termasuk seorang mukmin,
jika ia kenyang sedangkan tetangganya lapar." (Adabul Mufrad hadits
112)[3]
c.
Amal
yang banyak akan sia-sia jika tak berakhlak dengan tetangga.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْوَاحِدِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو
يَحْيَى مَوْلَى جَعْدَةَ بْنِ هُبَيْرَةَ، قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ،
يَقُولُ : " قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فُلانَةً تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ،
وَتَفْعَلُ، وَتَصَّدَّقُ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا خَيْرَ فِيهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ
النَّارِ، قَالُوا : وَفُلانَةٌ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، وَتَصَّدَّقُ بِأَثْوَارٍ،
وَلا تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ "
“Musaddad menceritakan pada
kami: Abdul Wahid menceritakan pada kami: Al-amasy menceritakan pada kami: abu
yahya maula Ja'dah bin Hubairah menceritakan pada kami: Aku mendengar Abu
Hurairah, dia berkata, "Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, 'Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulanah shalat malam. Puasa di
siang hari, berbuat baik, bersedekah, tetapi menyakiti tetangga dengan lisannya?'
Kemudian Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Tidak ada kebaikan
atas apa yang dikerjakannya, dan dia termasuk penghuni neraka.' Para
sahabat berkata, 'Dan si fulanah shalat fardhu, bersedekah dengan sepotong
keju, dan tidak menyakiti seseorang? Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, 'Dia termasuk penghuni surga'." (Adabul Mufrad
hadits 119)[4]
Saat kepekaan sudah membaik,
maka nilai sosialpun meningkat. Di dalam al-Quran, sebutan untuk pendusta agama
bahkan ditujukan bagi mereka yang shalat. Tapi kerajinannya untuk shalat
membawa nilai egoistic untuk dirinya sendiri tanpa peduli jeritan tentangga
kiri kanannya yang merintih kelaparan.
“Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Itulah
orang yang menghardik anak yatim,
dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya,
dan
enggan (menolong dengan) barang berguna”(Q.S al-Maun)
d.
Nilai Iman, bergantung pada
bagaimana berakhlak dengan tetangga, tamu dan ucapan yang keluar dari lisan
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا
ابْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ عَمْرٍو ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنْ أَبِي
شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : " مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ
إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ "
“Shadaqah menceritakan pada
kami, Ibnu uyainah mengabarkan pada kami, dari Amr, dari Nafi' bin Jubair, Dari
Abu Syuraih Al Khuza'i, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaknya berbuat baik kepada tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya
dia berkata baik atau diam." (Adabul Mufrad Hadits 102) [5]
Lisan, seberapa tajamkah ia.
Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Jawabannya terlalu familiar untuk
terus diulang. Dia yang terlalu banyak bicaranya, akan banyak salahnya. Dia
yang senantiasa membiarkan lisannya berceloteh tanpa henti akan selalu
melupakan untuk bercermin ke dalam jiwanya sendiri. Bercermin di dalam diri
hanya bisa dilakukan saat jiwa benar-benar berada dalam keheningan, termasuk
hening dari gaduhnya lisan untuk terus berbicara. Inilah yang menjadi salah
satu hikmah, mengapa shalat tahajjud itu di laksanakan ketika bangun dari
tidur. Di saat malam benar-benar heningnya, dan tak ada seorangpun yang bisa
diajak berbicara kecuali diri sendiri. Di saat itu pula, gerak fikiran bisa
dibaca dengan mudah kemana arahnya. Seolah waktu itu dipersiapkan terkhusus
bagi setiap individu yang ingin benar-benar menyelami dirinya sendiri, sembari
menghirup ke kuatan dari Rabb semesta alam.
Lebih dari itu, hadits di atas
lagi-lagi mengajarkan kita tentang bagaimana Iman terukur dari bagaimana cara
menggerakkan lisan, menyapa orang-orang selain kita dan tentang bagaimana memperlakukan
mereka.
[1] Shahih, di dalam kitab
Ash-Shahihah (45).
[2]
Shahih,
di dalam kitab Ash-Shahihah (286). (Bukhari, 78-Kitab Al Adab, 39- Bab Husnul
khuluqi was-sakha’i wa ma yakrahu minal-bukhli. Muslim, 4- Kitab Fadha'il,
16-Katsratu-hayatihi shallallahu 'alaihi wasallam, hadits 68).
[5]
Shahih,
di dalam kitab Al Irwa (2525). (Bukhari, 78-Kitab Al Adab, 32- Bab Man Kana
Yu'minu Billahi wal Yaumil Akhiri fala Yu'dzi Jarahu. Muslim, 31- Kitab Al
Luqathah, hadits 14).