HUBUNGAN IMAN DAN AKHLAK

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQbPhZ068GfL0Bd9OJAHNUP2CSpC4qcvVXrbgbpivUjeYyrCLvfHg


اَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا وَ اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya. (HR. Tirmidzi)

a.       Orang Yang terbaik adalah yang terbaik akhlaknya
Menjadi baik bukan hanya ketika dari mulut ini muncul pengakuan akan iman. Orang munafik dahulu, mereka pun mengakui bahwa dirinya beriman, tapi sesungguhnya mereka belum beriman. Kesibukan akan penilaian baiknya terhadap dirinya sendiri menjadi mereka pendusta. Dari sinilah benih perusakan muncul, sebab sifat tak acuh dengan sekitarnya menjadikan hatinya tertutup rapat dari kebenaran dan kian hilang kepekaan. 
Ini digambarkan oleh Allah dalam al-Quran sbb:

“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah  dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."(al-Baqarah: 22-24)

Pengakukan ini pula pernah dilontarkan oleh orang Arab badui dan akhirnya pengakuannya ditolak oleh Allah swt
قالت الأعراب آمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولما يدخل الإيمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لا يلتكم من أعمالكم شيئا إن الله غفور رحيم

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah  'kami telah tunduk ', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu ta 'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Hujuraat:14)

Maka menjadi baik artinya menjadi baik akhlaknya. Pada saat yang sama, jiwa akan melebar menaungi orang-orang di sekitarnya. Sikap peduli dengan orang lain berarti kepekaan jiwa sudah tumbuh. Tunas-tunas iman mengakar jauh menghujam ke bumi. Dan Rasulullah diutus karena penyempurnaan akhlak ini, oleh karena itu Rasulullah digelari sebagai manusia terbaik:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلانَ ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاقِ "

“Ismail bin Abu Uwais menceritakan pada kami: Abdul Aziz bin Muhammad menceritakan padaku; dari Muhammad bin Ajlan, dari Al-Fa'qa bin Hakim, dari Abu Shalih As-Saman, Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda. "Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik." (Adabul Mufrad Hadits 273)”[1]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنْ مَسْرُوقٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، قَالَ : " لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلا مُتَفَحِّشًا، وَكَانَ يَقُولُ : خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاقًا "

“Muhammad bin Katsir menceritakan pada kami: Sufyan menceritakan pada kami: dari Al-Amasy, dari Abu Wa'il, dari Masruq, Dari Abdullah ibnu Amru berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bukanlah orang yang keji dan bukan pula orang yang memerintahkan perbuatan keji, dan beliau pernah bersabda, 'Sebaik-baiknya diantara kamu adalah yang terbaik akhlaknya."' (Adabul Mufrad Hadits 271)[2]

b.      Tidaklah Seseorang dikatakan beriman jika ia merasa kenyang sedangkan Tetangganya lapar

Apa jaminan iman kita yang menjadi barometer yang bisa terlihat. Yaitu kerja social. Orang-orang yang menjadi pemeluk Islam disebabkan karena pesona akhlak yang dipancarkan jauh lebih baik daripada mereka dibuat memeluk Islam karena kekuasaan, perkawinan atau sejenisnya. Nabi saw disegani sekaligus menjadi orang kepercayaan jauh sebelum beliau menjadi pemimpin Madinah. Sebelum itu, sosok beliau menjadi perbincangan luas atas pesona budi yang beliau punya. bahkan diakui secara jujur oleh musuh-musuhnya Islam. Kalaulah bukan karena hidayah memang adalah milik Allah, maka cukup dengan pesona budi luhur beliau yang terpancar sudah cukup menerangi Makkah tanpa menunggu Fathul Makkah 23 tahun.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي بَشِيرٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُسَاوِرِ ، قَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ ، يُخْبِرُ ابْنَ الزُّبَيْرِ، يَقُولُ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : " لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ "

“Muhammad bin Katsir menceritakan pada kami, Sufyan mengabarkan pada kami, dari malik bin Abu Basyir, Dari Abdullah ibnu Al Musawir, dia berkata, "Aku mendengar Ibnu Abbas memberitahukan Ibnu Az-Zubair sambil berkata, 'Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak termasuk seorang mukmin, jika ia kenyang sedangkan tetangganya lapar." (Adabul Mufrad hadits 112)[3]

c.       Amal yang banyak akan sia-sia jika tak berakhlak dengan tetangga.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى مَوْلَى جَعْدَةَ بْنِ هُبَيْرَةَ، قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، يَقُولُ : " قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فُلانَةً تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، وَتَفْعَلُ، وَتَصَّدَّقُ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا خَيْرَ فِيهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، قَالُوا : وَفُلانَةٌ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، وَتَصَّدَّقُ بِأَثْوَارٍ، وَلا تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ "

“Musaddad menceritakan pada kami: Abdul Wahid menceritakan pada kami: Al-amasy menceritakan pada kami: abu yahya maula Ja'dah bin Hubairah menceritakan pada kami: Aku mendengar Abu Hurairah, dia berkata, "Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, 'Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulanah shalat malam. Puasa di siang hari, berbuat baik, bersedekah, tetapi menyakiti tetangga dengan lisannya?' Kemudian Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Tidak ada kebaikan atas apa yang dikerjakannya, dan dia termasuk penghuni neraka.' Para sahabat berkata, 'Dan si fulanah shalat fardhu, bersedekah dengan sepotong keju, dan tidak menyakiti seseorang? Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Dia termasuk penghuni surga'." (Adabul Mufrad hadits 119)[4]

Saat kepekaan sudah membaik, maka nilai sosialpun meningkat. Di dalam al-Quran, sebutan untuk pendusta agama bahkan ditujukan bagi mereka yang shalat. Tapi kerajinannya untuk shalat membawa nilai egoistic untuk dirinya sendiri tanpa peduli jeritan tentangga kiri kanannya yang merintih kelaparan.

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim,  dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.  Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,  (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,  orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”(Q.S al-Maun)

d.      Nilai Iman, bergantung pada bagaimana berakhlak dengan tetangga, tamu dan ucapan yang keluar dari lisan

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ عَمْرٍو ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ "

“Shadaqah menceritakan pada kami, Ibnu uyainah mengabarkan pada kami, dari Amr, dari Nafi' bin Jubair, Dari Abu Syuraih Al Khuza'i, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya berbuat baik kepada tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya, dan barang siapa beriman  kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam." (Adabul Mufrad Hadits 102)  [5]

Lisan, seberapa tajamkah ia. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Jawabannya terlalu familiar untuk terus diulang. Dia yang terlalu banyak bicaranya, akan banyak salahnya. Dia yang senantiasa membiarkan lisannya berceloteh tanpa henti akan selalu melupakan untuk bercermin ke dalam jiwanya sendiri. Bercermin di dalam diri hanya bisa dilakukan saat jiwa benar-benar berada dalam keheningan, termasuk hening dari gaduhnya lisan untuk terus berbicara. Inilah yang menjadi salah satu hikmah, mengapa shalat tahajjud itu di laksanakan ketika bangun dari tidur. Di saat malam benar-benar heningnya, dan tak ada seorangpun yang bisa diajak berbicara kecuali diri sendiri. Di saat itu pula, gerak fikiran bisa dibaca dengan mudah kemana arahnya. Seolah waktu itu dipersiapkan terkhusus bagi setiap individu yang ingin benar-benar menyelami dirinya sendiri, sembari menghirup ke kuatan dari Rabb semesta alam.
Lebih dari itu, hadits di atas lagi-lagi mengajarkan kita tentang bagaimana Iman terukur dari bagaimana cara menggerakkan lisan, menyapa orang-orang selain kita dan tentang bagaimana memperlakukan mereka.



[1] Shahih, di dalam kitab Ash-Shahihah (45).
[2] Shahih, di dalam kitab Ash-Shahihah (286). (Bukhari, 78-Kitab Al Adab, 39- Bab Husnul khuluqi was-sakha’i wa ma yakrahu minal-bukhli. Muslim, 4- Kitab Fadha'il, 16-Katsratu-hayatihi shallallahu 'alaihi wasallam, hadits 68).
[3] Shahih, di dalam kitab Ash-Shahihah (149)
[4] Shahih, di dalam kitab Ash-Shahihah (190).

[5] Shahih, di dalam kitab Al Irwa (2525). (Bukhari, 78-Kitab Al Adab, 32- Bab Man Kana Yu'minu Billahi wal Yaumil Akhiri fala Yu'dzi Jarahu. Muslim, 31- Kitab Al Luqathah, hadits 14).

Previous
Next Post »
Comments
0 Comments